MAKALAH
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS
ORTOPEDAGOGIK
Dosen Pembimbing:
Drs. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Desmia rahmadani (17003006)
Suci Aulia Annisa (17003105)
Wenni Wiliati(17003108)
Widya Agusti (17003076)
Fakultas
Ilmu Pendidikan
Pendidikan
Luar Biasa
Universitas
Negeri Padang
2017
i
Kata
Pengantar
Puji syukur kami ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Sholawat serta salam kita sampaikan kepada nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita ke alam yang terang dan penuh pengetahuan.
Terima kasih kepada dosen
mata kuliah “Ortopedagogik” yang telah memberikan berbagai masukkan dan
bimbingan selama mengikuti kegiatan pembelajaran guna membantu dan memahami
pelajaran dan pembuatan makalah ini.
Selanjutnya terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini , makalah ini
terdiri dari tiga bagian yaitu BAB I(latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan makalah), BAB II (isi), dan BAB III (kesimpulan dan saran)
Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
Segala saran dan kritik dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua,
akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Padang,25
September 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG.....................................................1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
KEPEDULIAN MASYARAKAT PADA MASA PERADABAN KUNO......................................................2
B.
KEPEDULIAN MASYARAKAT PADA MASA
PERTENGAHAN...............................................................3
C.
RINTISAN PENDIDIKAN KHUSUS PADA ABAD XVIII DAN
XIX..........................................................................4
D.
KECENDRUNGAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS PADA ABAD XX............................................6
E.
PENDIDIKAN KHUSUS DI INDONESIA.....................10
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN..................................................................15
B.
SARAN...............................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
.........................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ortopedagogik dapat diartikan sebagai ilmu pendidikan yang
membahas masalah usaha-usaha membantu anak (meluruskan anak) dengan kata lain
ortopedagogik dapat diartikan sebagai ilmu pendidikan yang menangani anak-anak
berkelainan (anak berkebutuhan khusus/ABK). Ortopedagogik merupakan cabang ilmu
dari ilmu pendidikan umum atau pedagogik umum. Ortopedagogik sering dibagi
menjadi dua macam, yaitu ortopedagogik umum dan ortopedagogik khusus.
Ortopedagogik umum berkenaan dengan pendidikan bagi anak-anak luar biasa pada
umumnya, sedangkan ortopedagogik khusus berkenaan dengan pendidikan bagi tiap
jenis anak luar biasa atau anak berkelainan.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana
kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno?
2. Bagaimana kepedulian masyarakat pada abad
pertengahan?
3. Bagaimana rintisan pendidikan khusus pada
abad XVIII?
4. Bagaimana kecenderungan perkembangan pendidikan
khusus pada abad XX?
5. Bagaimana pendidikan khusus di
Indonesia?
C.Tujuan Makalah
1. Untuk
mengetahui kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno
2. Untuk mengetahui kepedulian
masyarakat pada abad pertengahan
3. Untuk mengetahui pendidikan
khusus pada abad XVIII dan XIX
4. Untuk mengetahui kecendrungan
perkembangan pendidikan khusus pada abad XX
5. Untuk mengetahui pendidikan
khusus di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.Kepedulian
Masyarakat Pada Masa Peradaban Kuno.
Perkembangan Ortopedagogik sebagai
ilmu yang diawali dengan perkembangan pendidikan tiap-tiap jenis anak berkebutuhan
khusus setelah tiap-tiap jenis anak berkebutuhan khusus berkembang, gambaran
umum yang meliputi semua jenis keluarbiasaan diperoleh dan dikembangkan
sehingga menjadi suatu kebulatan.
Beberapa kelompok menjadikan
individu berkebutuhan khusus sebagai bahan persembahan bagi yang gaib adapula
yang membuangnya ke hutan, sungai dan sebagainya serta mereka mencurigai yang
mengalami kelainan dan menuduhnya manusia berdosa/keturunan orang berdosa.
Negara-negara yang berperadaban
seperti roma menganggap individu berkebutuhan khusus sebagai beban belaka karen
tidak dapat dijadikan prajurit perang, orang di yunani menyerahkan nasib orang
yang cacat kepada kepala suku/keluarga orang tersebut akan tetapi sikap seperti
itu tidak berlaku di semua tempat ada juga kelompok-kelompok yang menghargai
orang cacat dan luar biasa lainnya, bahkan mengobatinya diantara masyarakat
kuno yang terkenal menyantuni orang cacat ialah cina kuno.
Dari uraian diatas maka
perkembangan dan sejarah pendidikan khusus pada zaman kuno(primitif) dapat
dimaknai sebagai berikut:
a.
Penyandang
cacat pada zaman kuno dihormati (seperti menghormati kuburan dengan sesaji) .
b.
Di
mesir ketika ada seorang bayi lahir dan ternyata cacat, maka mereka akan
dibunuh karena dianggap akan menimbulkan malapetaka bagi seluruh negeri.
c.
Pandangan
orang pada saat munculnya agama terhadap
penyandang
cacat dianggap akibat dosa.
d.
Masyarakat
yunani mengagungkan kebugaran, sementara apabila ada bayi yang lahir cacat,
maka mereka akan dibunuh karena dianggap tidak memiliki kebugaran.
e.
Sebagian
besar bangsa waktu zaman kuno, menganggap bahwa kecacatan adalah hukuman atau
penebus dosa yang telah diperbuat orang tuanya. Tapi ada juga yang menjadikan
anak berkebutuhan sebagai penghibur atau pelawak pada keluarga kaya.
f.
Di
Solon(Athena) sudah dimulai pemberian bantuan sosial bagi penyandang cacat
dengan cara memelihara mereka dirumah-rumah pemeliharaan.
B.Kepedulian
Masyarakat Pada Abad Pertengahan
Kedatangan
agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam mendorong perubahan sikap
kepada mereka yang masih belum
memperdulikan anak-anak cacat. Agama-agama tersebut mengajarkan kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup, termasuk anak berkebutuhan khusus. Walaupun
demikian agama tidak mewariskan bagaimana cara mewujudkan bantuan tersebut
kepada anak berkebutuhan khusus. Namun dalam kitab suci al-Quran surat Abasa
ayat 1-11, diisyaratkan bahwa nabi Muhammad SAW pernah diberi peringatan oleh
Allah SWT, karena tidak memperdulikan orang buta yang bernama Abdullah bin Ummi
Maktum yang ingin belajar tentang agama langsung dari beliau, setelah diberi
peringatan akhirnya beliaupun memberi pelajaran tentang agama islam kepada
Abdullah bin Ummi Maktum.
Perlakuan
orang terhadap anak berkebutuhan khusus pada zaman pertengahan atau peralihan
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Banyak
diantara mereka memanfaatkan penyandang cacat dijadikan sebagai alat untuk
mencari keuntungan pribadi, diantaranya dijadikan sebagai peminta-minta.
b. Ada
juga yang memanfaatkan untuk dijadikan sebagai penghibur raja, ketika para raja
dalam keadaan gundah gulanda, kemudian yang buta dimanfaatkan sebagai tukang
pijat, ketika raja sedang penat pulang berburu.
c. Dipelihara
oleh ilmuan sebagai peramal, karena mereka dianggap sebagai titisan dewa.
d. Namun
ada juga yang menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus tidak berjiwa manusia.
e. Pada
tahun 1500 Yuan Luis Nives menulis jenis pekerjaan bagi penyandang tunanetra.
f. Pada
tahun 1620 Juan Bonet menulis buku tentang pendidikan bagi anak tunarungu.
g. Pada
tahun 1600diciptakan huruf bagi tunanetra yang dirintis oleh George Philip
Harsdofler dan Fransesco Lane Terri.
C. Rintisan
Pendidikan Luar Biasa pada Abad XVIII dan XIX
Abad XVIII
ditandai dengan perluasan bentuk pelayanan sosial bagi penyandang cacat dari
upaya perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah adabeberapa upaya
mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi ALB baru
muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988). Berikut akan–
diuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan
klasifikasi yang dibuat oleh Irvine.
1.
Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu
Pada tahun
1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba
mengajar membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan menguasaai sejumlah mata
pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti
dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan
Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620, berisi tentang berbagai metode yang
dikembangkan dari rintisan de Leon; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan
George Dalgarno (Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf
and Dumb Man’s Tutor. Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku
rintisan yang paling berpengaruh, berisi garis besar metode pembelajaran yang
sampai sekarang secara luas dipakai oleh para pendidik, dengan penekanan bahwa
penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama dengan mereka yang dapat
mendengar.
Sekolah formal
bagi anak tuna rungu yang pertama di Inggris didirikan oleh Thomas Braidwood di
Eidenburgh pada tahun 1767. Metode mengaj ar yang dipakai merupakan gabungan
antara oral dan manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa isyarat, para
murid juga belajar abjad biasa dan artikulasi. Sekolah ini memang berhasil, dan
pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah kota kecil dekat London,
untuk dapat menampung lebih banyak murid dari kota London. Tidak lama kemudian,
Joseph Watson, kemenakan dan asisten Braidwood, mendirikan sekolah bagi anak
tuna rungu dari keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota
London.
Pada waktu yang
hampir bersamaan, Samuel Heinche (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran
yang sepenuhnya oral, menekankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca
bibir. Metode ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill
yang kemudian dipakai di seluruh dunia.
Di Perancis,
Abbe Charles Michel de 1’Epee dan Abbe RochAmbroise Sicard mengembangkan bahasa
isyarat modern. Sistem pembelajaran menggunakan gagasan Jacob Pereire yang
menekankan penggunaan isyarat dan alfabet biasa untuk berkomunikasi dan
pelatihan indra penglihatan dan peraba. Ide inilah yang dianggap sebagai
perintis pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB.
Pendidikan bagi
anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari dikirimnya Thomas Hopkins
Gallaudet untuk belajar pada Sicard di Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat,
bersama dengan seorang Perancis yang lain, yaitu Laurent Clerc, mereka
mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu yang pertama. Sejak itu, sekolah
sejenis banyak bermunculan di negara tersebut, dan sebagai puncaknya adalah
berdirinya satu perguruan tinggi khusus bagi penyandang tuna rungu pada tahun
1864, yang sekarang bernama Gallaudet University di kota Washington, yang
mungkin merupakan satu-satunya di dunia. Pada perkembangan selanjutnya, kelas khusus
bagi anak tuna rungu juga banyak dibuka, dipelopori di Boston pada tahun 1869.
Beberapa nama terkenal kemudian bermunculan di Amerika Serikat karena
sumbangannya terhadap perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna rungu,
antara lain Alexander Graham Bell (penemu telepon dan tokoh pendidikan bagi
anak tuna rungu) dan Hellen Keller (penyandang tuna netra dan tuna rungu yang
mengangkat eksistensi pendidikan bagi penyandang cacat).
Di samping
kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna rungu, satu hal yang sampai
sekarang belum disepakati adalah apakah menggunakan sistem oral, manual, atau
gabungan. Masih terdapat ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat
keefektifan dari setiap sistem
2. Pendidikan
bagi Anak Tuna Netra.
Sekolah bagi
anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh
Valentine Hauy,seorang dermawan. Sekoiah ini juga menerima murid yang awas,
dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra. Keberhasilan Hauy ini
mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa.
Sekolah sejenis
di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama
the Perkins School for the Blind di kota Watertown Massachusetts. Rintisan ini
kemudian diikuti oleh pendirian sekolah-sekolah sejenis di berbagai negara
bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, sekolah berasrama merupakan
satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru
terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas khusus bagi anak tuna netra
di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900.
Satu hal
penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak tuna netra
adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan sistem huruf timbul
untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan sistem ini, Hauy menerbitkan
buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat sulit
untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang
menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem bacatulis
yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun, buku-buku braile
harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjasa mengembangkan
mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf
braile pada tahun 1893.
3. Pendidikan
bagi Anak Tuna Grahita
Pendidikan bagi
anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter berkebangasaan Perancis
bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik seorang anak berusia 11 tahun
yang ditemukan di hutan. Ini tei jadi pada abad XVIII. Usaha Itard ini tidak
sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental.
Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild
Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang
menjadi dasar pembelajaran anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara
rinci oleh muridnya yang bernama Edouard Sequin dan terbit dalam sebuah buku
ber j udul Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada
tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut
antara lain:
a. pendidikan
anak secara utuh,
b. pembelajaran
secara individual,
c. mulai
pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dan
d. hubungan
dekat antara murid dan guru.
Pada abad XX,
konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik berkebangsaan
Italia, Maria Montessori, yang menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera.
Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna
grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi model di seluruh Eropa.
Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut sekaramg juga banyak
diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.
Di Amerika
Serikat, sekolah khusus bagi anak tuna grahita yang pertama didirikan pada
tahun 1848 oleh Hervey Backus Wilbur di Barre Massachusetts; sedangkan kelas
khusus bag] anak tuna grahita di sekolah umum yang pertama dibuka pada tahun
1896 di Providence, Rhode Island. Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama
kali pada tahun 1859, yang kemudian disusul dengan beberapa sekolah lagi di
seluruh Eropa.
Satu titik
tolak yang kemudian memberi warna pada perkembangan layanan pendidikan bagi
anak cacat mental terjadi juga pada awal abad XX, tepatnya tahun 1905, dengan
dikembangkannya tes intelegensi oleh Alfred Binet yang bekerja di sekolah di
Paris. Temuan ini memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat
mental dapat dilakukan secara obyektif.
4. Pendidikan
bagi Anak Tuna Laras
Penelesuran
perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras mungkin termasuk yang
paling sulit. Ada beberapa penyebabm antara lain:
a. kurangnya ketepatan (precision) dalam
mengklasifikasi jenis kelainannya
b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c. kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan
jenis kecacatan lain.
Di Amerika
Serikat, sekolah klrusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan. Kategori
gangguan emosi atau gangguan perilaku sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX,
itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental.
Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi
anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1871 dan di New York pada
tahun 1874.
Penelitian
terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun
1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggung jawab atas pendidikan
anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang
ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi
anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.
5. Pendidikan
bagi Anak Tuna Daksa
Sama seperti
halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna
daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna
daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang
diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada
beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa, sperti di
Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada
tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus, sekolah-sekolah ini hanya
menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali
berada di sekolah biasa, seperti anak-anak celebral palsy.
Dari gambaran
singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan bagi penyandang
cacat yang paling tua adalah sekolah khusus sepanjang hari (institution).
Tetapi menjelang berakhirnya abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih
banyak dibuka. Pemisahan secara penuh anak cacat dari anak normal mulai
dipertanyakan.
D.Kecenderungan
Perkembangan Pendidikan Khusus Pada abad
XX
Pada akhir abad ke 19 bentuk
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sistem segregasi di
sekolah-sekolah khusus pada munculnyakelas-kelas khusus di sekolah biasa . ini
upaya untuk menghindarkan isolasi anak-anak berkelainan.
Pada pertengahan abad 20, bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal dipertanyakan.
Diketahui bahwa pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
mengalami perubahan dari masa kemasa. Konsep baru ini dimulai sejak tahun 1968
di Scandinavia,kemudian berkembang ke negara-negara lain.Pada tahun 1981, PBB
memasyarakatkan konsep baru ini dengan mencanangkan tahun itu sebagai tahun
penyandang cacat internasional.
E.Pendidikan
khusus di Indonesia
Pendidikan Luar Biasa Sejarah perkembangan pendidikan bagi
penyandang cacat di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari dua periode
yaitu periode sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Berdirinya Blinden
Instituut tahun 1901 di Bandung yang diprakarsai oleh dr. Westhoff merupakan
awal pelayanan terhadap penyandang cacat dimana para tunanetra diberikan
latihan dengan program shetered workshop (bengkel kerja). Program inilah
yang merupakan cikal bakal berdirinya sekolah khusus bagi tunanetra di
Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 1927, juga
di Bandung, dibuka sekolah khusus bagi anak tunagrahita yang didirikan oleh
Bijzonder Onderwijs yang diprakarsai oleh seorang yang bernama Folker, sehingga
sekolah ini disebut Folker School. Pada tahun1930 sekolah khusus untuk
tunarungu wicara juga dibuka di Bandung oleh seorang Belanda yang bernama C. M.
Roelsema.
Pada masa kemerdekaan, keberadaan
sekolah bagi penyandang cacat makin terjamin dengan adanya UUD 45 yang
menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Di samping itu UU
Pendidikan No 12 tahun 1954 memuat ketentuan tentang pendidikan dan
pengajaran luar biasa. Mulai saat itulah sekolah bagi penyandang cacat disebut
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Penyelenggara SLB, sejak dulu
hingga kini, sebagian besar adalah pihak swasta yang berupa yayasan. Meskipun
demikian penyelenggaraan SLB dibina oleh pemerintah yang mula-mula oleh Seksi
Pengajaran Luar Biasa merupakan bagian dari Balai Pendidikan Guru kemudian oleh
Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, selanjutnya oleh
Urusan Pendidikan Luar biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum .
Sejak
tahun 1980 SLB dibina oleh Subdirektorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (Subdit.
PSLB), di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah. Selanjutnya Subdit. PSLB ditingkatnya fungsinya menjadi
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Dit. PLB). Dan terakhir Direktorat ini
berubah menjadi Dit. PSLB.
Perjalanan pendidikan bagi
penyandang cacat telah berjalan lebih dari satu abad. Selama kurun waktu
tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan luar biasa telah berkembang
secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah SLB makin meningkat, lembaga
pemerintah yang mengurusnya semakin besar, Lembaga penyiapan gurunya juga
telah berkembang hingga di LPTK perguruan tinggi, sistem layanan pendidikannya
bervariasi seturut dengan perkembangan kesadaran masyarakat nasional maupun
internasional. Meskipun demikian, kemajuan PLB di Indonesia tidak luput
dari berbagai masalah atau tantangan dalam perkembangannya.
Sejak tahun 1970an Indonesia telah
memperkenalkan sistem layanan pendidikan (sekolah) dimana penyandang cacat
bersekolah bersama sama dengan anak pada umumnya sekolah reguler yang disebut
dengan sekolah terpadu (integrasi). Sistem sekolah terpadu ini sebagian besar
melayani anak tunanetra sementara anak dengan kecacatan lain belum banyak
mengikuti sistem sekolah terpadu ini.
Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia juga
memperkenalkan layanan pendidikan yang didasari oleh filosofi inklusi yang
diamanatkan oleh PBB melalui prinsip Education for All (pendidikan untuk
semua). Sayangnya filosofi pendidikan inklusif ini telah dipraktekkan secara
terburu-buru di Indonesia sehingga hasilnya kurang memuaskan dan sering disalah
artikan oleh para pelaku pendidikan di lapangan maupun di tataran birokratnya.
Salah satu kasus yang paling populer akibat sosialisasi yang keliru ada sekolah
memindahkan penyandang cacat dari SLB ke sekolah tersebut dengan tujuan
agar sekolahnya menjadi inklusi.
Dengan pendidikan inklusif, penyandang cacat akan belajar di sekolah mana saja tak terbatas di SLB oleh karenanya guru-guru SLB sangat berpotensi berkembang perannya di lembaga pendidikan manapun.
Dengan pendidikan inklusif, penyandang cacat akan belajar di sekolah mana saja tak terbatas di SLB oleh karenanya guru-guru SLB sangat berpotensi berkembang perannya di lembaga pendidikan manapun.
Setelah
Indonesia merdeka, sekolah-sekolah khusus atau SLB yang didirikan oleh
pemerintah Belanda masih dilanjutkan oleh bangsa Indonesia hingga sekarang.
Guru-guru yang akan mengajar di SLB diberikan latihan atau dididik khusus di
Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). SGPLB dibuka pertama kali, di
Bandung, tahun 1952 dengan masa pendidikan selama 2 tahun. Pada mulanya SGLPB
diperuntukan bagi guru-guru yang telah mengajar, namun dalam perkembangannya
lulusan SLTA darimanapun boleh mengikuti pendidikan. Sejak tahun 1960an
penyiapan guru-guru SLB juga ditingkatkan dimana mereka dipersiapkan di
perguruan tinggi dari Diploma III hingga Sarjana. Sekarang ini telah dibuka
program pascasarjana PLB untuk S2 di Universitas Pendidikan (UPI).
Undang Undang
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa pengakuan kedudukan
guru sebagai tenaga professional, dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Ps.
2:2). Guru profesional adalah guru yang memenuhi kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi
(Ps. 10). Selama ini program pendidikan profesi keguruan kurikulumnya melekat
secara simultan (konkuren) dengan program S1 LPTK. Berdasarkan kebijakan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, lulusan program S1 Pendidikan berhak
mengajar di sekolah yang dibuktikan dengan Akta Mengajar. Sementara itu, untuk
calon guru yang berasal dari non LPTK diwajibkan mengikuti pendidikan Akta
Mengajar secara konsekutif.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidik pada satuan pendidikan SDLB/SMPLB/SMALB harus memenuhi kualifikasi akademik minimum D-IV atau S1 latar belakang pendidikan tinggi program pendidikan khusus, serta memiliki sertifikat profesi guru SDLB/SMPLB/SMALB (Ps. 29 : 5). Dengan mengacu kepada PP tersebut maka lulusan S1 PK dituntut untuk dapat mengajar pada satuan pendidikan khusus mulai dari SDLB, SMPLB dan SMALB bahkan juga TKLB, baik untuk jenis kelainan Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), Tunalaras (E), Kecerdasan dan Keberbakatan istimewa (F), maupun Berkesulitan Belajar (H). Selama ini Kurikulum S1 PK lebih menitikberatkan kepada penguasaan kompetensi keguruan bidang PK dalam setting persekolahan satuan pendidikan SDLB (A,B,C,D,E). Sedangkan untuk SMPLB, SMALB dan kompetensi layanan khusus di luar setting persekolahan, masih bersifat dasar dan generik.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidik pada satuan pendidikan SDLB/SMPLB/SMALB harus memenuhi kualifikasi akademik minimum D-IV atau S1 latar belakang pendidikan tinggi program pendidikan khusus, serta memiliki sertifikat profesi guru SDLB/SMPLB/SMALB (Ps. 29 : 5). Dengan mengacu kepada PP tersebut maka lulusan S1 PK dituntut untuk dapat mengajar pada satuan pendidikan khusus mulai dari SDLB, SMPLB dan SMALB bahkan juga TKLB, baik untuk jenis kelainan Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), Tunalaras (E), Kecerdasan dan Keberbakatan istimewa (F), maupun Berkesulitan Belajar (H). Selama ini Kurikulum S1 PK lebih menitikberatkan kepada penguasaan kompetensi keguruan bidang PK dalam setting persekolahan satuan pendidikan SDLB (A,B,C,D,E). Sedangkan untuk SMPLB, SMALB dan kompetensi layanan khusus di luar setting persekolahan, masih bersifat dasar dan generik.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang
terdapat memilki perkembangan yang secara signifikan menyimpang dari
perkembangan normal. Rentangan anak-anak dengan perkembangan menyimpang
ditemukan dalam tiga kategori ( Impairment, Handicapped dan Disability
), mulai dari anak-anak yang kekurangan gizi, tenaga kerja anak dan
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemiskinan serta kehidupan ekonomi
baik bagi anak-anak yang mengalami gangguan dalam mobilitas, pendengaran,
bicara dan bahasa, penglihatan, kemampuan intelektual dan masalah emosi, serta
kombinasi dari berbagai gangguan tersebut.
Kepedulian
masyarakat pada anak berkebutuhan khusus masa peradaban kuno, pada masa itu
penyandang cacat memiliki kedudukan yang terhormat dan kepercayaan yang berlaku
mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam prakteknya, ajaran ini tidak
berlaku bagi penyandang cacat, masyarakat Mesir Kuno mengganggap tabu
untuk membunuh bayi, tetapi bayi yang lahir cacat ternyata dibunuh.
Ajaran agama menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang
beruntung. Tetapi dalam prakteknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat
dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika
tidak dapat disembuhkan,penyandang cacat masih dianggab dirasuki roh jahat dan
belum mempunyai iman yang kuat.
Abad
pertengahan, pada abad ini penyandang cacat sangat menyedihkan bahwa penyandang
cacat sebagai penghalang, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh
masyarakat. Pada akhir abad pertengahan, mulai ada upaya memperbaiki kehidupan
para penyandang cacat.
B.Saran
Guru selaku tenaga pengajar harus
mengetahui tentang anak berkebutuhan khusus. Karena pada kenyataanya sekarang
anak berkebutuhan khusus sudah sering dijumpai di masyarakat dewasa ini dengan
anak-anak normal lainnya. Guru mau tidak mau harus mengetahui bagaiman melayani
anak berkebutuhan khusu tersebut tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA
Ganda Sumekar.2012.Ortopedagogik.Padang:UNP
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar