Selasa, 14 November 2017

orto kel 4 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS



MAKALAH
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS
ORTOPEDAGOGIK
unp.jpg

Dosen Pembimbing:
Drs. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Desmia rahmadani (17003006)
Suci Aulia Annisa (17003105)
Wenni Wiliati(17003108)
Widya Agusti (17003076)

Fakultas Ilmu Pendidikan
Pendidikan Luar Biasa
Universitas Negeri Padang
2017


i
Kata Pengantar
               
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT  yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam kita sampaikan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke alam yang terang dan penuh pengetahuan.

Terima kasih kepada dosen mata kuliah “Ortopedagogik” yang telah memberikan berbagai masukkan dan bimbingan selama mengikuti kegiatan pembelajaran guna membantu dan memahami pelajaran dan pembuatan makalah ini.  Selanjutnya terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini , makalah ini terdiri dari tiga bagian yaitu BAB I(latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan makalah), BAB II (isi), dan BAB III (kesimpulan dan saran)
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
Segala saran dan kritik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.




                                                                        Padang,25 September 2017



                                                                                                  Penulis






ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
            BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.....................................................1
B.     RUMUSAN MASALAH................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A.    KEPEDULIAN MASYARAKAT PADA MASA PERADABAN KUNO......................................................2
B.     KEPEDULIAN MASYARAKAT PADA MASA PERTENGAHAN...............................................................3
C.     RINTISAN PENDIDIKAN KHUSUS PADA ABAD XVIII DAN XIX..........................................................................4
D.    KECENDRUNGAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS PADA ABAD XX............................................6
E.     PENDIDIKAN KHUSUS DI INDONESIA.....................10

BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN..................................................................15
B.     SARAN...............................................................................16
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................17











iii



 

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ortopedagogik dapat diartikan sebagai ilmu pendidikan yang membahas masalah usaha-usaha membantu anak (meluruskan anak) dengan kata lain ortopedagogik dapat diartikan sebagai ilmu pendidikan yang menangani anak-anak berkelainan (anak berkebutuhan khusus/ABK). Ortopedagogik merupakan cabang ilmu dari ilmu pendidikan umum atau pedagogik umum. Ortopedagogik sering dibagi menjadi dua macam, yaitu ortopedagogik umum dan ortopedagogik khusus. Ortopedagogik umum berkenaan dengan pendidikan bagi anak-anak luar biasa pada umumnya, sedangkan ortopedagogik khusus berkenaan dengan pendidikan bagi tiap jenis anak luar biasa atau anak berkelainan.
           
            B.Rumusan Masalah
             1. Bagaimana kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno?
             2. Bagaimana kepedulian masyarakat pada abad pertengahan?
             3. Bagaimana rintisan pendidikan khusus pada abad XVIII?
4.  Bagaimana kecenderungan perkembangan pendidikan khusus pada abad XX?
5. Bagaimana pendidikan khusus di Indonesia?

            C.Tujuan Makalah
            1. Untuk mengetahui kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno
            2. Untuk mengetahui kepedulian masyarakat pada abad pertengahan
            3. Untuk mengetahui pendidikan khusus pada abad XVIII dan XIX
4. Untuk mengetahui kecendrungan perkembangan pendidikan khusus pada abad XX
5. Untuk mengetahui pendidikan khusus di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
A.Kepedulian Masyarakat Pada Masa Peradaban Kuno.
Perkembangan Ortopedagogik sebagai ilmu yang diawali dengan perkembangan pendidikan tiap-tiap jenis anak berkebutuhan khusus setelah tiap-tiap jenis anak berkebutuhan khusus berkembang, gambaran umum yang meliputi semua jenis keluarbiasaan diperoleh dan dikembangkan sehingga menjadi suatu kebulatan.
Beberapa kelompok menjadikan individu berkebutuhan khusus sebagai bahan persembahan bagi yang gaib adapula yang membuangnya ke hutan, sungai dan sebagainya serta mereka mencurigai yang mengalami kelainan dan menuduhnya manusia berdosa/keturunan orang berdosa.
Negara-negara yang berperadaban seperti roma menganggap individu berkebutuhan khusus sebagai beban belaka karen tidak dapat dijadikan prajurit perang, orang di yunani menyerahkan nasib orang yang cacat kepada kepala suku/keluarga orang tersebut akan tetapi sikap seperti itu tidak berlaku di semua tempat ada juga kelompok-kelompok yang menghargai orang cacat dan luar biasa lainnya, bahkan mengobatinya diantara masyarakat kuno yang terkenal menyantuni orang cacat ialah cina kuno.
Dari uraian diatas maka perkembangan dan sejarah pendidikan khusus pada zaman kuno(primitif) dapat dimaknai sebagai berikut:
a.       Penyandang cacat pada zaman kuno dihormati (seperti menghormati kuburan dengan sesaji) .
b.      Di mesir ketika ada seorang bayi lahir dan ternyata cacat, maka mereka akan dibunuh karena dianggap akan menimbulkan malapetaka bagi seluruh negeri.
c.       Pandangan orang pada saat munculnya agama terhadap
penyandang cacat dianggap akibat dosa.
d.      Masyarakat yunani mengagungkan kebugaran, sementara apabila ada bayi yang lahir cacat, maka mereka akan dibunuh karena dianggap tidak memiliki kebugaran.
e.       Sebagian besar bangsa waktu zaman kuno, menganggap bahwa kecacatan adalah hukuman atau penebus dosa yang telah diperbuat orang tuanya. Tapi ada juga yang menjadikan anak berkebutuhan sebagai penghibur atau pelawak pada keluarga kaya.
f.       Di Solon(Athena) sudah dimulai pemberian bantuan sosial bagi penyandang cacat dengan cara memelihara mereka dirumah-rumah pemeliharaan.
B.Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan
            Kedatangan agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam mendorong perubahan sikap kepada mereka yang  masih belum memperdulikan anak-anak cacat. Agama-agama tersebut mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, termasuk anak berkebutuhan khusus. Walaupun demikian agama tidak mewariskan bagaimana cara mewujudkan bantuan tersebut kepada anak berkebutuhan khusus. Namun dalam kitab suci al-Quran surat Abasa ayat 1-11, diisyaratkan bahwa nabi Muhammad SAW pernah diberi peringatan oleh Allah SWT, karena tidak memperdulikan orang buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang ingin belajar tentang agama langsung dari beliau, setelah diberi peringatan akhirnya beliaupun memberi pelajaran tentang agama islam kepada Abdullah bin Ummi Maktum.
            Perlakuan orang terhadap anak berkebutuhan khusus pada zaman pertengahan atau peralihan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Banyak diantara mereka memanfaatkan penyandang cacat dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi, diantaranya dijadikan sebagai peminta-minta.
b.      Ada juga yang memanfaatkan untuk dijadikan sebagai penghibur raja, ketika para raja dalam keadaan gundah gulanda, kemudian yang buta dimanfaatkan sebagai tukang pijat, ketika raja sedang penat pulang berburu.
c.       Dipelihara oleh ilmuan sebagai peramal, karena mereka dianggap sebagai titisan dewa.
d.      Namun ada juga yang menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus tidak berjiwa manusia.
e.       Pada tahun 1500 Yuan Luis Nives menulis jenis pekerjaan bagi penyandang tunanetra.
f.       Pada tahun 1620 Juan Bonet menulis buku tentang pendidikan bagi anak tunarungu.
g.      Pada tahun 1600diciptakan huruf bagi tunanetra yang dirintis oleh George Philip Harsdofler dan Fransesco Lane Terri.
C. Rintisan Pendidikan Luar Biasa pada Abad XVIII dan XIX
Abad XVIII ditandai dengan perluasan bentuk pelayanan sosial bagi penyandang cacat dari upaya perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah adabeberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988). Berikut akan diuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine.

1.        Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu
Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan menguasaai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620, berisi tentang berbagai metode yang dikembangkan dari rintisan de Leon; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno (Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man’s Tutor. Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh, berisi garis besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh para pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama dengan mereka yang dapat mendengar.
Sekolah formal bagi anak tuna rungu yang pertama di Inggris didirikan oleh Thomas Braidwood di Eidenburgh pada tahun 1767. Metode mengaj ar yang dipakai merupakan gabungan antara oral dan manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa isyarat, para murid juga belajar abjad biasa dan artikulasi. Sekolah ini memang berhasil, dan pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah kota kecil dekat London, untuk dapat menampung lebih banyak murid dari kota London. Tidak lama kemudian, Joseph Watson, kemenakan dan asisten Braidwood, mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu dari keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota London.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Samuel Heinche (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran yang sepenuhnya oral, menekankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca bibir. Metode ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill yang kemudian dipakai di seluruh dunia.
Di Perancis, Abbe Charles Michel de 1’Epee dan Abbe RochAmbroise Sicard mengembangkan bahasa isyarat modern. Sistem pembelajaran menggunakan gagasan Jacob Pereire yang menekankan penggunaan isyarat dan alfabet biasa untuk berkomunikasi dan pelatihan indra penglihatan dan peraba. Ide inilah yang dianggap sebagai perintis pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB.
Pendidikan bagi anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari dikirimnya Thomas Hopkins Gallaudet untuk belajar pada Sicard di Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat, bersama dengan seorang Perancis yang lain, yaitu Laurent Clerc, mereka mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu yang pertama. Sejak itu, sekolah sejenis banyak bermunculan di negara tersebut, dan sebagai puncaknya adalah berdirinya satu perguruan tinggi khusus bagi penyandang tuna rungu pada tahun 1864, yang sekarang bernama Gallaudet University di kota Washington, yang mungkin merupakan satu-satunya di dunia. Pada perkembangan selanjutnya, kelas khusus bagi anak tuna rungu juga banyak dibuka, dipelopori di Boston pada tahun 1869. Beberapa nama terkenal kemudian bermunculan di Amerika Serikat karena sumbangannya terhadap perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna rungu, antara lain Alexander Graham Bell (penemu telepon dan tokoh pendidikan bagi anak tuna rungu) dan Hellen Keller (penyandang tuna netra dan tuna rungu yang mengangkat eksistensi pendidikan bagi penyandang cacat).
Di samping kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna rungu, satu hal yang sampai sekarang belum disepakati adalah apakah menggunakan sistem oral, manual, atau gabungan. Masih terdapat ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat keefektifan dari setiap sistem
2. Pendidikan bagi Anak Tuna Netra.
Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh Valentine Hauy,seorang dermawan. Sekoiah ini juga menerima murid yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra. Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa.
Sekolah sejenis di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama the Perkins School for the Blind di kota Watertown Massachusetts. Rintisan ini kemudian diikuti oleh pendirian sekolah-sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, sekolah berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas khusus bagi anak tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900.
Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan sistem ini, Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem baca­tulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjasa mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf braile pada tahun 1893.
3. Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita
Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini tei jadi pada abad XVIII. Usaha Itard ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edouard Sequin dan terbit dalam sebuah buku ber j udul Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut antara lain:
a. pendidikan anak secara utuh,
b. pembelajaran secara individual,
c. mulai pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dan
d. hubungan dekat antara murid dan guru.
Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut sekaramg juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.
Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak tuna grahita yang pertama didirikan pada tahun 1848 oleh Hervey Backus Wilbur di Barre Massachusetts; sedangkan kelas khusus bag] anak tuna grahita di sekolah umum yang pertama dibuka pada tahun 1896 di Providence, Rhode Island. Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama kali pada tahun 1859, yang kemudian disusul dengan beberapa sekolah lagi di seluruh Eropa.
Satu titik tolak yang kemudian memberi warna pada perkembangan layanan pendidikan bagi anak cacat mental terjadi juga pada awal abad XX, tepatnya tahun 1905, dengan dikembangkannya tes intelegensi oleh Alfred Binet yang bekerja di sekolah di Paris. Temuan ini memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat mental dapat dilakukan secara obyektif.
4. Pendidikan bagi Anak Tuna Laras
Penelesuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebabm antara lain:
a. kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya
b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c. kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.
Di Amerika Serikat, sekolah klrusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan. Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874.
Penelitian terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.


5. Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa
Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa, sperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus, sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak celebral palsy.
Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan bagi penyandang cacat yang paling tua adalah sekolah khusus sepanjang hari (institution). Tetapi menjelang berakhirnya abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih banyak dibuka. Pemisahan secara penuh anak cacat dari anak normal mulai dipertanyakan.
D.Kecenderungan Perkembangan Pendidikan Khusus Pada  abad XX
Pada akhir abad ke 19 bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sistem segregasi di sekolah-sekolah khusus pada munculnyakelas-kelas khusus di sekolah biasa . ini upaya untuk menghindarkan isolasi anak-anak berkelainan.
Pada pertengahan abad 20, bentuk pelayanan pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal dipertanyakan. Diketahui bahwa pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus mengalami perubahan dari masa kemasa. Konsep baru ini dimulai sejak tahun 1968 di Scandinavia,kemudian berkembang ke negara-negara lain.Pada tahun 1981, PBB memasyarakatkan konsep baru ini dengan mencanangkan tahun itu sebagai tahun penyandang cacat internasional.

E.Pendidikan khusus di Indonesia
    Pendidikan Luar Biasa   Sejarah perkembangan pendidikan bagi penyandang cacat di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Berdirinya Blinden Instituut tahun 1901 di Bandung yang diprakarsai oleh dr. Westhoff merupakan awal pelayanan terhadap penyandang cacat dimana para tunanetra diberikan latihan dengan  program shetered workshop (bengkel kerja). Program inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya sekolah khusus  bagi tunanetra di Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 1927, juga di Bandung, dibuka sekolah khusus bagi anak tunagrahita yang didirikan oleh Bijzonder Onderwijs yang diprakarsai oleh seorang yang bernama Folker, sehingga sekolah ini disebut Folker School. Pada tahun1930 sekolah khusus untuk tunarungu wicara juga dibuka di Bandung oleh seorang Belanda yang bernama C. M. Roelsema.   
Pada masa kemerdekaan, keberadaan sekolah bagi penyandang cacat makin terjamin dengan adanya UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Di samping itu UU Pendidikan No 12 tahun 1954 memuat ketentuan  tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Mulai saat itulah sekolah bagi penyandang cacat disebut Sekolah Luar Biasa (SLB).  
Penyelenggara SLB, sejak dulu hingga kini, sebagian besar adalah pihak swasta yang berupa yayasan. Meskipun demikian penyelenggaraan SLB dibina oleh pemerintah yang mula-mula oleh Seksi Pengajaran Luar Biasa merupakan bagian dari Balai Pendidikan Guru kemudian oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, selanjutnya oleh Urusan Pendidikan Luar biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum .
Sejak tahun 1980 SLB dibina oleh Subdirektorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (Subdit. PSLB), di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya Subdit. PSLB ditingkatnya fungsinya menjadi Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Dit. PLB). Dan terakhir Direktorat ini berubah menjadi Dit. PSLB. 
Perjalanan pendidikan bagi penyandang cacat telah berjalan lebih dari satu abad. Selama kurun waktu tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan luar biasa telah berkembang secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah SLB makin meningkat, lembaga pemerintah yang mengurusnya semakin besar, Lembaga  penyiapan gurunya juga telah berkembang hingga di LPTK perguruan tinggi, sistem layanan pendidikannya bervariasi seturut dengan perkembangan kesadaran masyarakat nasional maupun internasional. Meskipun demikian, kemajuan  PLB di Indonesia tidak luput dari berbagai masalah atau tantangan dalam perkembangannya.
Sejak tahun 1970an Indonesia telah memperkenalkan sistem layanan pendidikan (sekolah) dimana penyandang cacat bersekolah bersama sama dengan anak pada umumnya sekolah reguler yang disebut dengan sekolah terpadu (integrasi). Sistem sekolah terpadu ini sebagian besar melayani anak tunanetra sementara anak dengan kecacatan lain belum banyak mengikuti sistem sekolah terpadu ini.
Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia juga memperkenalkan layanan pendidikan yang didasari oleh filosofi inklusi yang diamanatkan oleh PBB melalui prinsip Education for All (pendidikan untuk semua). Sayangnya filosofi pendidikan inklusif ini telah dipraktekkan secara terburu-buru di Indonesia sehingga hasilnya kurang memuaskan dan sering disalah artikan oleh para pelaku pendidikan di lapangan maupun di tataran birokratnya. Salah satu kasus yang paling populer akibat sosialisasi yang keliru ada sekolah memindahkan penyandang cacat  dari SLB ke sekolah tersebut dengan tujuan agar sekolahnya menjadi inklusi.
 Dengan pendidikan inklusif, penyandang cacat akan belajar di sekolah mana saja tak terbatas di SLB oleh karenanya guru-guru SLB sangat berpotensi berkembang perannya di lembaga pendidikan manapun.  
Setelah Indonesia merdeka, sekolah-sekolah khusus atau SLB yang didirikan oleh pemerintah Belanda masih dilanjutkan oleh bangsa Indonesia hingga sekarang. Guru-guru yang akan mengajar di SLB diberikan latihan atau dididik khusus di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). SGPLB dibuka pertama kali, di Bandung, tahun 1952 dengan masa pendidikan selama 2 tahun. Pada mulanya SGLPB diperuntukan bagi guru-guru yang telah mengajar, namun dalam perkembangannya lulusan SLTA darimanapun boleh mengikuti pendidikan.  Sejak tahun 1960an penyiapan guru-guru SLB juga ditingkatkan dimana mereka dipersiapkan di perguruan tinggi dari Diploma III hingga Sarjana. Sekarang ini telah dibuka program pascasarjana PLB untuk S2 di Universitas Pendidikan (UPI).
Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional, dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Ps. 2:2). Guru profesional adalah guru yang memenuhi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Ps. 10). Selama ini program pendidikan profesi keguruan kurikulumnya melekat secara simultan (konkuren) dengan program S1 LPTK. Berdasarkan kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, lulusan program S1 Pendidikan berhak mengajar di sekolah yang dibuktikan dengan Akta Mengajar. Sementara itu, untuk calon guru yang berasal dari non LPTK diwajibkan mengikuti pendidikan Akta Mengajar secara  konsekutif.
       Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidik pada satuan pendidikan SDLB/SMPLB/SMALB harus memenuhi kualifikasi akademik minimum D-IV atau S1 latar belakang pendidikan tinggi program pendidikan khusus, serta memiliki sertifikat profesi guru SDLB/SMPLB/SMALB (Ps. 29 : 5). Dengan mengacu kepada PP tersebut maka lulusan S1 PK dituntut untuk dapat mengajar pada satuan pendidikan khusus mulai dari SDLB, SMPLB dan SMALB bahkan juga TKLB, baik untuk jenis kelainan  Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), Tunalaras (E), Kecerdasan dan Keberbakatan istimewa (F), maupun Berkesulitan Belajar (H). Selama ini Kurikulum S1 PK lebih menitikberatkan kepada penguasaan kompetensi keguruan bidang PK dalam setting persekolahan satuan pendidikan SDLB (A,B,C,D,E). Sedangkan untuk SMPLB, SMALB dan kompetensi layanan khusus di luar setting persekolahan, masih bersifat dasar dan generik.



 

BAB III
PENUTUP
            A.Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang terdapat memilki perkembangan yang secara signifikan menyimpang dari perkembangan normal. Rentangan anak-anak dengan perkembangan menyimpang ditemukan dalam tiga kategori ( Impairment, Handicapped dan Disability ), mulai dari anak-anak yang kekurangan gizi, tenaga kerja anak dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemiskinan serta kehidupan ekonomi baik bagi anak-anak yang mengalami gangguan dalam mobilitas, pendengaran, bicara dan bahasa, penglihatan, kemampuan intelektual dan masalah emosi, serta kombinasi dari berbagai gangguan tersebut.
Kepedulian masyarakat pada anak berkebutuhan khusus masa peradaban kuno, pada masa itu penyandang cacat memiliki kedudukan yang terhormat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam prakteknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat, masyarakat  Mesir Kuno mengganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yang lahir cacat ternyata dibunuh.  Ajaran agama menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam prakteknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika tidak dapat disembuhkan,penyandang cacat masih dianggab dirasuki roh jahat dan belum mempunyai iman yang kuat.
Abad pertengahan, pada abad ini penyandang cacat sangat menyedihkan bahwa penyandang cacat sebagai penghalang, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh masyarakat. Pada akhir abad pertengahan, mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat.
B.Saran                                                                                                          Guru selaku tenaga pengajar harus mengetahui tentang anak berkebutuhan khusus. Karena pada kenyataanya sekarang anak berkebutuhan khusus sudah sering dijumpai di masyarakat dewasa ini dengan anak-anak normal lainnya. Guru mau tidak mau harus mengetahui bagaiman melayani anak berkebutuhan khusu tersebut tanpa terkecuali.

           
           

























    DAFTAR PUSTAKA
Ganda Sumekar.2012.Ortopedagogik.Padang:UNP Press.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kel 5 afgan SISTEM SARAF TEPI

ANATOMI, FISIOLOGI, NEUROLOGI, DAN GENETIKA SISTEM SARAF TEPI DISUSUN OL...